Sedianya warga Jakarta tak perlu kekurangan air bersih. Secara tata letak, iklim dan sumber daya, kota ini mestinya memiliki suplai air bersih yang mencukupi dan sanggup memenuhi kebutuhan seluruh warganya. Tapi kombinasi dari pencemaran air, privatisasi dan komersialisasi air serta kondisi pemukiman yang padat dan informal membuat masalah air bersih menjadi bulan-bulanan masyarakat yang tak kunjung ada solusinya.
Air bersih = barang mewah
Banyak orang yang tidak sadar, tapi lebih dari setengah dari penduduk Jakarta, utamanya mereka yang miskin, tak memiliki akses terhadap fasilitas air perpipaan. Karenanya, penduduk miskin Jakarta harus membayar 15 kali lebih mahal daripada penduduk kelas menengah maupun atas untuk air bersih. Tak percaya? Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, total pengeluaran warga yang tinggal di pemukiman informal atau perkampungan di Jakarta untuk air bersih adalah sekitar 20 persen dari total pendapatannya sebulan.
Jangan lupa bahwa sebagian besar penduduk Jakarta tinggal di pemukiman informal, baik legal maupun ilegal. Wajar jika perusahaan air swasta tak mendapat ijin untuk menyuplai air ke daerah pemukiman ilegal untuk pemerintah. Namun bahkan untuk daerah legal pun, mereka nampak ogah untuk membangun fasilitas perpipaan karena tak menguntungkan jika dihitung secara penggunaan air.
Karenanya, cara paling mudah untuk mendapatkan air bagi warga yang tinggal di perkampungan adalah dengan membeli air di gerobak dorongan yang dijual secara informal dengan sistem antar-bayar. Penjual air akan mengambil air di "juragan air" yang memiliki sambungan ke perpipaan, lalu berkeliling menjajakan jirigen (bisa juga bekas kaleng cat, di beberapa tempat) sekitar dua kali sehari memasuki gang-gang sempit kampung. Satu gerobak biasanya sanggup menampung 6-20 jirigen. Satu jirigen umumnya mampu menampung sampai 20 liter air. Satu jirigen harganya bervariasi, paling mahal sekitar 6,000 rupiah. Kaget? Belum apa-apa. Rata-rata penggunaan air di perkampungan adalah sekitar 45 liter per orang per hari (satu keluarga bisa terdiri sampai lima atau enam orang), ini pun masih di bawah standar WHO yaitu 50 liter per air. Silahkan berhitung jumlah uang yang dikeluarkan oleh warga miskin Jakarta untuk memenuhi kebutuhan airnya, dan bandingkan dengan pengeluaran air Anda per bulan.
Masalahnya, mereka tak punya pilihan. Sumber air lain yang juga digunakan adalah sumur komunal yang airnya keruh dan tak layak minum karena tingkat pencemaran yang tinggi, sehingga meskipun gratis, lebih umum digunakan untuk mencuci peralatan masak. Tak heran bisnis air informal pun sangat menguntungkan. "Buat pagi hari saja, saya bisa empat kali bolak-balik isi dan antar", ungkap salah seorang penjual air gerobakan di Kapuk Muara.
Persepsi pada masyarakat yang mengkhawatirkan
Ironisnya, jika kita berkeliling ke sejumlah perkampungan di Jakarta dan berbicara dengan warga setempat mengenai masalah air, mereka akan mengatakan bahwa tak sulit mendapatkan air bersih. "Mendapatkan air di sini mudah, tinggal beli saja sama yang jualan tiap pagi," ungkap Ibu Tuti, 30 tahun, yang tinggal diPenjaringan.
Survey yang dilakukan terhadap 345 rumah tangga miskin di sejumlah kampung di Jakarta oleh Asian Trends Monitoring awal tahun 2012 ini menunjukkan hal serupa. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mendapatkan air bersih 'tidak sulit'. Kemungkinan besar, setelah bertahun-tahun tinggal di kampung dengan keadaan air seperti ini, para warga pun telah beradaptasi dan mengalami perubahan persepsi, bahwa inilah yang paling baik yang dapat mereka peroleh. Bahayanya, jika warga tetap berpikir seperti ini, tuntutan (demand) terhadap air bersih dengan harga terjangkau pun tak akan ada, sehingga suplai yang harusnya disediakan oleh pemerintah pun tak akan pernah muncul.
Kemungkinan lain munculnya jawaban tersebut adalah sebagian besar warga yang memilih untuk merebus air yang diambil dari sumur komunal, yang dapat mereka peroleh secara gratis. Jika ini alasannya, maka persepsi masyaratakat mengenai air bersih yang layak minum dan tak membahayakan kesehatan pun sudah ikut tercemar.
Butuh komitmen bersama
Pada tahun 2009, IDRC (Canada) membentuk tim kota yang terdiri dari sejumlah "pemain urban" yaitu Pemerintah Kota Jakarta Utara, Mercy Corps Indonesia, Urban and Regional Development Institute, Environmental Services Program, dan Swiscontact Indonesia, untuk melakukan kegiatan percontohan dalam pengadaan air bersih di kampung Penjaringan. Program ini bertujuan untuk menyediakan akses terhadap air bersih perpipaan dengan harga terjangkau melalui sambungan komunal. Perusahaan air swasta yang memegang hak air perpipaan di Jakarta Utara, Barat dan Selatan, Palyja (PAM Lyonnaise Jaya) pun digandeng untuk turut serta dalam inisiatif ini dengan mensubsidi sebesar 33 juta rupiah.
Kegiatan di lapangan dipimpin oleh organisasi berbasis masyarakat, Jaka Tirta 012 (karena pelaksanaannya di RW 012 Penjaringan). Infrastrukturnya cukup sederhana. Instalasi air bersih dengan menara tangki dan penampungan bawah tanah yang dilengkapi dengan meteran induk untuk mengukur penggunaan air komunal. Air dialiri dengan prinsip gravitasi sederhana. Sebagai tambahannya, setiap rumah tangga yang ikut serta dilengkapi dengan meteran rumahan. Instalasi ini, dinamai dengan Master Meter, memiliki kapasitas mencapai 400 liter/rumah tangga/hari untuk 60 keluarga, atau sekitar 24 m3/hari. Biaya air per meter kubik yang tadinya mencapai Rp.27,000 bisa dikurangi hingga Rp. 7,000 saja.
Ternyata, tiga tahun setelah Master Meter berdiri, banyak sekali kendala yang terjadi. Agaknya sulit untuk mengharapkan kegiatan berjalan sesuai harapan tanpa ada proses pengawasan reguler dari pihak terkait. Pemerintah setempat tampak lupa bahwa pernah ada kegiatan ini. Jaka Tirta sendiri dapat dikatakan mati suri, karena kesibukan anggota serta masalah komitmen. Kelompok berbasis masyarakat mungkin penting untuk menjamin adanya rasa kepemilikan, tapi komitmen tersebut harus datang dari masyarakat sendiri. Perlu juga disoroti apakah inisitiatif ini menguntungkan bagi perusahaan air yang dilibatkan, karena pada kenyataannya debit air sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomis. Ketika ditemui beberapa waktu lalu, salah satu pengurus Jaka Tirta mengungkapkan, "Tetap saja ada warga yang menunggak bayar meski harganya sudah murah. Akhirnya air jadi tidak lancar".
Memang masih panjang jalan menuju kesetaraan pemrolehan air bersih di Jakarta. Masih banyak PR yang harus dikerjakan, baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat sendiri. Untuk sementara, sampai masing-masing pihak berkomitmen penuh terhadap perannya, tampaknya masyarakat miskin masih harus terus membeli air dengan harga yang berkali lipat lebih mahal.
0 komentar:
Posting Komentar